neilz

Sabtu, 16 April 2011

PENDIDIKAN = THE HUNGER GAMES

The hunger games adalah novel tentang sebuah negara yang terlalu otoriter dimana tiap tahunnya mengadakan sebuah games yang mengharuskan tiap-tiap distriknya mengajukan perwakilan 1 laki-laki dan 1 perempuan berusia 12 tahun sampai 18 tahun. Dari 12 distrik yang ada, sehingga terkumpullah 24 anak yang harus bertarung saling membunuh hingga hanya tersisa 1 orang yang menang, yaitu orang yang berhasil hidup. Peraturan dalam hunger games dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keinginan penyelenggara. Hunger games ini bertujuan untuk mengingatkan bahwa pemerintah, yang disebut capitol, tidak boleh dilawan. Dan pemenang dari hunger games ini akan mendapatkan hadiah yang dapat menjamin kehidupannya dan keluarganya. Para peserta hunger games mempunyai misi yang berbeda untuk mau berpartisipasi dalam games berbahaya ini, antara lain demi mendapat kehidupan yang lebih baik dari hadiah yang diberikan atau hanya ajang pamer kehebatan saja.

Pendidikan, terutama di Indonesia, menerapkan system yang hampir mirip dengan hunger games. Para peserta hunger games memang membutuhkan mengikuti games ini, walaupun mereka bisa saja terbunuh. Hal ini berlaku pula dalam pendidikan, semua orang membutuhkannya walaupun ini bisa menyiksa mereka.





Dengan biaya pendidikan yang masih dibilang mahal, walaupun pemerintah sudah menerapkan bantuan-bantuan misalnya BOS atau beasiswa, apa yang diterima siswa dan/atau mahasiswa masih belum sepadan. Selama ini peraturan hanya ditetapkan oleh pemerintah, komite dan para guru/dosen tanpa melibatkan konsumen (orang tua/siswa/mahasiswa). Misalnya saja, pemilihan guru/dosen yang seharusnya mengajari. Siswa/mahasiswa tidak berhak untuk memilih siapa yang dianggap pantas mengajarinya. Mungkin hal ini sepele. Tapi ketika siswa/mahasiswa tersebut tidak cocok dengan pengajar yang telah dipilihkan, bisa saja nilainya jelek. Hal ini bisa dikarenakan dia tidak semangat untuk mengikuti pelajaran. Kalau sudah begitu, siapa yang patut disalahkan? Biasanya adalah siswa/mahasiswa tersebut dianggap pemalas atau bahkan bodoh.




Ketika siswa/mahasiswa mendapat nilai yang jelek, seringkali yang disalahkan adalah siswa/mahasiswa tersebut. Hanya ada sedikit guru/dosen yang merasa gagal jika terjadi hal ini. Dan parahnya, ketika siswa/mahasiswa ini merasa tidak bisa mengerjakan ujian, entah dia memang tidak mengerti atau dia lupa dengan jawaban yang tepat, dia akan mendapat hukuman. Hukuman itu dapat berupa nilai jelek, tidak naik kelas, tidak lulus atau bahkan di DO (drop out).

Bukankah dengan keadaan pendidikan yang seperti ini, siswa/mahasiswa hanya dipaksa untuk menghapal atau memahami sesuatu yang belum tentu mereka sukai?




System pengajaran selama ini juga hanya bertumpu pada cara belajar linguistic dan logika, yang hanya mengandalkan ruang kelas, pembelajaran buku dasar, banyak pengulangan, dan ujian untuk memperkuat dan mengulas. Padahal masing-masing orang mempunyai cara belajar berbeda.

Bahkan ujian yang selama ini dianggap sebagai penentu pintar atau bodohnya seseorang, hanya mendiskriminasi kelompok tertentu saja. Tingkat kemampuan seseorang pasti berbeda. Dan ujian mengharuskan mereka bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum tentu dimengerti dan dipahami. Sekali lagi, ketika dia gagal menjawab, dia akan dianggap bodoh.




Dengan demikian, apakah bisa dianggap kalau pemerintah menganggap penting pendidikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar