A. KONDISI UMUM PERTANIAN DI INDONESIA
Pangan pokok masyarakat Indonesia masih bertumpu pada beras. Konsumsi energi yang berasal dari pangan nabati mencapai sekitar 94% dan tertinggi berasal dari kelompok padi-padian. Untuk mencapai ketahanan pangan yang mantap maka rasio cadangan pangan terhadap kebutuhan domestik setidaknya 20%, sementara food security ratio beras domestik pada saat ini baru mencapai 4.38%. oleh karena itu masih diperlukan upaya keras dalam meningkatkan produksi padi dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional.
Sejalan dengan transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, tekanan terhadap kemanfaatan lahan pertanian semakin meningkat yang dapat mengancam eksistensi sektor pertanian dalam hal ketahanan pangan nasional. Dalam lingkup mikro, dengan semakin berkurangnya lahan usaha tani sementara jumlah rumah tangga usahatani semakin meningkat, maka jumlah petani yang tidak memiliki lahan yang berstatus sebagai penggarap dan buruh tani semakin meningkat dan cenderung mengubah sistem kelembagaan pengelolaan lahan usahatani di pedesaan yaitu meningkatnya sistem sewa dan bagi hasil atau sakap.
Perubahan iklim global juga berdampak pada sektor pertanian yaitu meningkatnya risiko turunnya produksi dan produktivitas usahatani. Serta mengubah sistem kelembagaan pengusahaan lahan ke arah bentuk bagi hasil atau sakap dalam rangka berbagi risiko (Stiglitz, 1974) sementara pergeseran pola pengusahaan lahan dari pemilik penggarap ke penyakap menyebabkan usahatani padi menjadi kurang efisien (Johnson, 1984; Ghatak dan Ingersten, 1984) dan program penyuluhan tidak akan berlangsung baik.
Dalam lingkup mikro, tekanan terhadap lahan usahatani padi serta keterbatasan infrastruktur pertanian (terutama irigasi) juga berpotensi melemahnya daya saing usahatani padi relatif terhadap usahatani pangan lainnya yang tidak memerlukan pengairan secara intensif (jagung dan kedelai) seperti halnya pada usahatani padi. Dalam konteks diversifikasi pangan, meningkatnya daya saing usahatani pangan non-padi akan bersifat positif dalam mendorong peningkatan produksi pangan non-padi dan peningkatan diversifikasi pangan sepanjang pola konsumsi karbohidrat masyarakat dapat dengan mudah bergeser dari beras ke komoditas pangan lokal sumber karbohidrat lainnya. Namum, hasl kajian menunjukkan bahwa tidaklah mudah mengubah pola pangan masyarakat dari beras ke non beras (Susilowati, dkk, 2009). Dalam lingkup makro, tanpa perlindungan yang memadai dari pemerintah terhadap usahatani padi, maka dampak globalisasi perdagangan akan menghilangkan daya saing komoditas pangan lokal (khususnya beras) di pasar internasional.
Permasalahan industri gula nasional sudah berlangsung semenjak tahun 1970-an yang mencakup aspek produksi yang berkaitan usahatani tebu, konsumsi, efisiensi pabrik gula, tataniaga dan perdagangan internasional.Permasalahan aspek produksi berkaitan menurunnya kemampuan menghasilkan gula untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Permasalahan gula nasional ibarat penyakit kronis yang sampai sekarang resep yang manjur belum diketemukan (Prabowo, 2000). Turunnya produksi dan produktivitas gula disebabkan berbagai faktor seperti: budidaya tebu di bawah standar, penanaman di bawah masa optimal, mayoritas lahan tebu adalah lahan kering dengan produktivitas lebih rendah dari lahan sawah, proporsi tanaman keprasan lebih besar (lebih 60%), mutu bibit tidak optimal, sistem tebang angkut tidak optimal dan adanya gangguan hubungan antara lain pabrik gula dan petani (Muslim,2003:283; Siagian, 2004:56).
B. MASALAH-MASALAH PERTANIAN YANG BERKAITAN DENGAN EKONOMI KELEMBAGAAN
Konsep ketahanan pangan (food security) lebih luas dibanding konsep swasembada pangan yang hanya berorientasi pada aspek fisik kecukupan produksi bahan pangan. Beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ketersediaan pangan dan aksesabilitas masyarakat terhadap bahan pangan tersebut. Walaupun pangan yang tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.
Ketersediaan dan kecukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari – hari. Penyediaan pangan dapat ditempuh melalui: produksi sendiri dengan cara memanfaatkan dan alokasi SDA, manajemen dan pengembangan SDM serta aplikasi dan penguasaaan teknologi yang optimal, impor dari negara lain dengan menjaga perolehan devisa yang memadai dari sektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan perdagangan luar negeri. Cara ini dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar dan mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien serta dapat disempurnakan melalui kebijakan tata niaga atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen. (DR. Bustanul Arifin, 2004).
Ø Masalah Impor dan Distribusi Beras
Semakin banyaknya masyarakat Indonesia maka kebutuhan akan beras juga semakin meningkat. Sehingga beras tidak hanya mengandung nilai ekonomi dan sosial tetapi juga nilai politis yang begitu menonjol. Pergantian kekuasaan di Indonesia sering kali berkaitan dengan masalah beras dan ketahanan pangan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Konsumsi beras penduduk Indonesia secara normal pada kisaran 90 – 100 kg/kapita. Persediaan akhir beras nasional pada tahun 2009 ini mencapai 1,7 juta ton. Jumlah persediaan beras ini justru menimbulkan permasalah baru, yaitu akan dikemanakan cadangan beras sebesar ini. Masalah lain yaitu tingginya persediaan akhir beras ini menyebabkan sebagian besar gudang bulog yng tersebar di wilayah terisi penuh sehingga berdampak terhadap kualitas beras yang disimpan. Padahal semakin lama beras didistribusikan akan berdampak terhadap berkurangnya kualitas beras tersebut terutama beras untuk rakyat miskin. Besarnya surplus tersebut tidak lepas dari peningkatan produksi komoditas pada tiga tahun terakhir ini dimana pada 2009 produksi gabah kering giling saja mencapai 63,8 juta ton. Adapun pengadaan beras dalam negeri oleh bulog pada tahun 2009 mencapai 3,6 juta ton.
Di tingkat Jawa Tengah misalnya, surplus produksi pada tahun 2009 mencapai 2,5 juta ton. Kapasitas gudang yang dimiliki Bulog Jawa Tengah hanya mampu menampung beras mencapai 433 ribu ton. Padahal persediaan beras yang sudah ada di seluruh gudang Perum Bulog Jawa Tengah mencapai 250 ribu ton. Kelimpahan produksi beras itu berdampak terhadap keterlambatan perputaran keluar – masuk barang di gudang.
Untuk mengurangi persediaan beras yang masih tersimpan di gudang-gusang, pemerintah provinsi mendesak seluruh kabupaten atau kota segera mengajukan alokasi perintah pendistribusian beras untuk masyarakat miskin tahun 2010.
Menurut Wakil Gubernur Ali Mufiz (sekarang sudah mantan—Ed.), daerah yang kekurangan beras tidak bisa disamakan dengan provinsi yang termasuk kategori lumbung padi. Karena itu Beliau menetapkan kebijakan impor beras seharusnya bersifat lokal yaitu dengan tidak mengijinkan kapal yang memuat beras impor merapat di pelabuhan-pelabuhan yang ada di wilayah Jateng. Seandainya beras impor masuk ke daerah yang surplus beras maka hagra beras akan turun dan akan merugikan petani.
Bulog tidak dapat membeli beras dari masyarakat karena harga beras di masyarakat cukup tinggi dan tidak seimbang dengan harga beras yang dipatok oleh pemerintah via Bulog dengan persyaratan yang cukup rumit. Akibatnya Bulog mendapatkan izin resmi untuk melakukan impor beras karena harga yang diberikan beras impor lebih murah dibandingkan harga beras hasil petani dalam negeri.
Karena Bulog satu-satunya lembaga yang diizinkan pemerintah melakukan impor, timbul kecurugaan Bulog melakukan impor yang tidak transparan, sehingga Bulog dapat menentukan harga semau-maunya. (Prof. Dr. Purbayu Budi Santosa, M.S., 2010).
Pemerintah dengan kebijakan impor beras ingin menciptakan perdagangan bebas, namun pada waktu bersamaan masih memproteksi pasar produksi pertanian di dalam negeri serta tetap mensubsidi para petani.
Ø Masalah Kelangkaan Pupuk
Pupuk dan padi sering digambarkan sebagai hubungan fungsional input dan output dalam sektor pertanian. Petani Indonesia telah mengenal pupuk organik jauh sebelum Revolusi Hijau yang hampir identik dengan pupuk anorganik dan bahan kimia lain seperti pestisida dan herbisida.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, harga pupuk (urea) ditetapkan sedikit lebih rendah dari harga dasar gabah melalui mekanisme sederhana, namun efektif “rumus tani” perbandingan harga gabah dan harga pupuk. (Dr. Bustanul Arifin, 2004).
Dengan berputarnya waktu dan kenaikan harga umum (inflasi) harga pupuk juga tidak pernah lebih tinggi dari harga pupuk sampai awal 1990-an. Ketika subsidi harga pupuk semakin jauh dari sasaran dan hanya dinikmati oleh usaha besar perkebunan, maka pencabutan subsidi adalah hal yang logis. Persoalan menjadi semakin pelik ketika harga pupuk ditingkat dunia masih lebih tinggi dibandingkan harga di tingkat domestik. Ekspor pupuk secara ilegal maupun legal semakin meningkat.
Kelangkaan pupuk pada saat ini tidak jauh berbeda dengan pola kelangkaan pada tahun 1998/1999 sesaat setelah pencabutan subsidi harga pupuk. Pupuk menghilang dari pasaran karena pola distribusi yang buruk, terjadi semacam oligopoli sistem pemasaran, dan skema ekspor tidak dapat “dikontrol” sepenuhnya oleh sistem kelembagaan yang ada.
Hingga saat ini pupuk anorganik terutama yang berbahan baku nitrogen (urea) dan fosfat (SP – 36/TSP) merupakan prasayarat penting dalam intensifikasi proses produksi pertanian. Industri pupuk nasional sebenarnya paham apabila kebutuhan pupuk di pasar domestik tidak dipenuhi, maka ketahanan pangan Indonesia terganggu. Kebutuhan pupuk di dalan negeri juga meningkat cukup pesat walaupun sempat mengalami penurunan pada saat puncak krisis ekonomi.
Masalah kelangkaan pupuk disebabkan empat faktor yang saling terkait, yaitu: Pertama, struktur pasar dan distribusi pupuk. Struktur pasar produksi pupuk adalah oligopoli. Sedangkan sistem distribusi pupuk terasa amat kaku dan cenderung mengikuti pola komando yang sangat jauh dari prinsip-prinsip persaingan sehat.
Kedua, persekongkolan dalam menikmati rente ekonomi. Banyaknya para spekulan yang menimbun pupuk. Mereka dengan mudah melakukan aksinya karena diduga mendapat perlindungan dari aparat. Keuntungan yang diperoleh dari aparat dengan para eksportir tidak resmi didapat dari hasil memungut rente ekonomi yang dibagi sesuai dengan proporsi yang disepakati.
Ketiga, sikap petani yang boros menggunakan pupuk. Biasanya satu hektar tanaman padi hanya membutuhkan 250 kg pupuk urea. Namun petani terbiasa menghabiskan 300 kg urea per hektar tanaman padi.
Keempat, tersendatnya bahan baku pupuk, khususnya pasokan gas. Permasalah pasokan gas disebabkan kerusakan pabrik, alokasi pabrik pupuk tidak terpenuhi karena justru diekspor. Produksi gas lebih diarahkan untuk ekspor karena adanya perbedaan harga gas dalam negeri dan luar negeri yang cukup besar. (Prof. Dr. Purbayu Budi Santosa, M.S., 2010).
Pemerintah berecana memberikan subsidi pupuk sebesar Rp 8,3 triliun, tetapi dalam praktek di lapangan masih banyak terjadi penyimpangan. Petani yang menjadi kelompok sasaran utama justru tidak bisa memperoleh manfaat subsidi, sebaliknya sebagian masyarakat yang bukan termasuk klompok sasaran meraup banyak keuntungan.
Pemberian subsidi pupuk melalui pabrik kurang mengenai sasaran karena di beberapa daerah HET (harga eceran tertinggi) pupuk tidak terpenuhi akibatnya pupuk tiba – tiba raib dari pasaran.
Ø Masalah Kekeringan
Tradisi bencana kekeringan sering menimpa Indonesia yang berpengaruh pada daerah sentra produksi pertanian dan daerah miskin atau marjinal di Jawa. Bencana kekeringan termasuk ke dominan publik (politik). Di satu sisi pemerintah menganggap sepele bahwa kekeringan tidak terlalu membahayakan produksi pangan karena sekian macam program dan proyek pompanisasi, sumur pantek, embung penampungan air dan lain-lain telah dilaksanakan pemerintah. Program tersebut tidak akan berarti apabila volume air tanah dan air permukaan tanah telah menururn drastis karena perubahan iklim yang menjadi kurang bersahabat.
Tahun 2002 bencana kekeringan yang melanda Indonesia telah merusak area persawahan sampai 350 ribu hektar dan membuat gabah puso hampir 42 ribu hektar. Tahun 2003 kekeringan juga menyebabkan rusaknya area panen sampai 450 ribu hektar dan puso mencapai lebih dari 100 ribi hektar.
Implikasi dampak kekeringan terhadap penururnan produksi pangan nasional merupakan ancaman serius karena kekeringan yang parah dapat menurunkan produksi gabah lebih dari satu juta ton. Secara makro, efek perubahan suhu permukaan laut secara anomali (panas di sebut El Nino dan dingin disebut La Nina) dan tekanan ketinggian laut (Osilasi Selatan) di daerah Pasifik tidak akan separah seperti tahun 1997/1998 yang lalu.
Dari hasil studi ditemukan bahwa musim kemarau atau anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi produksi padi sampai 4,8 juta ton gabah atau setara 3 juta ton beras. Tim peneliti dari Universitas Stanford menyimpulkan bahwa setiap satu derajat celcius kenaikan suhu anomali menyebabkan penurunan produksi gabah di Indonesia sampai 1,4 juta ton. Tapi dampak kekeringan terhadap produksi jagung tidak ditemukan pola yang relatif jelas.
Ø Masalah Politik
Bulog menjadi “pengawal terdepan” kebijakan pangan yang berorientasi mencari keuntungan serta menyangkut aspek strategis dari keseluruhan setting kebijakan pangan di tingkat makro dan mikro. Bulog sebagai salah satu pengawal stabilisasi harga pangan saat ini mengalami persoalan ambruknya kredibilitas dan rendahnya kepercayaan masyarakat, walaupun lebih banyak karena perilaku perburuan rente (rent seeking) dan karakter korup birokrasi dalam menterjemahkan dan melaksanakan suatu instrumen kebijakan.
Bulog yang dulu cukup disegani ternyata menjadi sumber inefisiensi sampai mencapai Rp 6,7 triliun seperti hasil yang dilaporkan hasil audit lembaga terkemuka Arthur Anderson (Arifin dan Rachbini, 2001). Apalagi skandal yang melibatkan pejabat tinggi negara karena dana nonbudgeter yang bersumber dari bulog telah menguras energi bangsa yang mencoba bangkit dari krisis multi dimensi.
Distorsi ekonomi yang diciptakan bulog membuat harga eceran bahan pangan yang ditangani bulog menjadi sangat mahal dibandingkan harga di tingkat petani produsen. Penyebab utama distorsi distribusi pangan adalah kesalahan atau penyimpangan rangkaian kebijakan intervensi pasar yang dilakukan bulog. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan stabilisasi harga, manajamen stok, dan distribusi bahan pangan yang menjadi ajang perburuan rente bagi kelompok pelaku usaha, birokrat pusat dan daerah, dan tekanan politik untuk tujuan pragmatis yang kadang tidak masuk akal.
Di masa orba, bulog ternyata berkontribusi pada terjadinya struktur, penguasaan pasar dan tata niaga tepung terigu yang sangat monopolis. Bulog juga pernah menguasai jaringan import dan distribusi gula di dalam negeri dengan proteksi yang berlebihan. Pada awal reformasi, tahun 1998 internal bulog diadakan perbaikan dengan memberi batasan hanya mengendalikan beras.
Dari perspektif teori ekonomi politik, unsur monopoli inilah yang merupkan sinyal awal atau komponen terpenting dari perilaku korupsi yang diderita bangsa Indonesia. Dampak sosial ekonomi korupsi membawa distorsi ekonomi, merusak sistem insentif yang dibangun melalui mekanisme pasar serta menjadi sumber ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan inflasi tinggi, menurunkan daya beli masyarakat yang sedang tertimpa krisis (Arifin, 2002).
C. MENINGKATKAN POSISI TAWAR PETANI MELALUI KELEMBAGAAN
Upaya peningkatan produksi pertanian hanya nampak pada komoditi tanaman yang sarat dengan muatan politis seperti beras dan gula. Meningkatnya produksi tidak jarang diikuti dengan anjloknya harga, yang menyebabkan petani tidak bergairah dalam menjalani profesinya. Keuntungan kegiatan pertanian selama ini hanya dinikmati para pedagang dan pelaku agribisnis hilir. Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan ekonomi pedesaan yang mampu memberikan kekuatan bagi petani (posisi tawar yang tinggi). Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Peningkatan posisi tawar petani dapat meningkatkan akses masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh para petani dapat dihindarkan. Pengembangan masyarakat petani melalui kelembagaan pertanian/kelompok tani ataupun Koperasi merupakan suatu upaya pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaan sistem perekonomian masyarakat pedesaan dengan arah pemberdayaan petani akan disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Dengan partisipasi yang tinggi terhadap koperasi, diharapkan rasa ikut memiliki dari masyarakat atas semua kegiatan yang dilakasanakan koperasi akan juga tinggi.
Kendala dan hambatan yang harus diperhatikan dalam pengembangan koperasi di pedesaan, diantaranya : (a) rendahnya minat masyarakat untuk bergabung dalam kelompok tani/koperasi, dikarenakan kegagalan-kegagalan dan stigma negatif tentang kelembagaan tani/koperasi yang terbentuk di dalam masyarakat. Kegagalan yang dimaksud diantaranya adalah ketidakmampuan kelembagaan tani/koperasi dalam memberikan kebutuhan anggotanya dan ketidakmampuan dalam memasarkan hasil produk pertanian anggotanya. (b) adanya ketergantungan petani kepada tengkulak akibat ikatan yang ditimbulkan karena petani melakukan transaksi dengan para tengkulak (pinjaman modal, dan memasarkan hasil). Dan (c) rendahnya SDM petani di pedesaan menimbulkan pemahaman dan arti penting koperasi terabaikan.
Prospek pertanian dan pedesaan yang berkembang setelah krisis ekonomi semakin mendorong kebutuhan akan adanya kelembagaan perekonomian komprehensif dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh petani atau pengusaha kecil. Hal ini sejalan dengan adanya pemahaman bahwa nilai tambah terbesar dalam kegiatan ekonomi pertanian dan pedesaan terdapat pada kegiatan yang justru tidak dilakukan secara individual, tetapi didapatkan pada kegiatan perdagangan, pengangkutan, pengolahan yang lebih ekonomis bila dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku lain sehingga diharapkan keuntungan dapat dinikmati secara bersama-sama.
Menurut Baga (2006), pengembangan kelembagaan pertanian baik itu kelompok tani atau koperasi bagi petani sangat penting terutama dalam peningkatan produksi dan kesejahteraan petani, dimana: (1) Melalui koperasi petani dapat memperbaiki posisi rebut tawar mereka baik dalam memasarkan hasil produksi maupun dalam pengadaan input produksi yang dibutuhkan. Posisi rebut tawar (bargaining power) ini bahkan dapat berkembang menjadi kekuatan penyeimbang (countervailing power) dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para petani. (2) Dalam hal mekanisme pasar tidak menjamin terciptanya keadilan, koperasi dapat mengupayakan pembukaan pasar baru bagi produk anggotanya. Pada sisi lain koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya terahadap berbagai penggunaan faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan pasar. (3) Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah melakukan penyesuaian produksinya melalui pengolahan paska panen sehubungan dengan perubahan permintaan pasar, yang akan memperbaiki efisiensi pemasaran yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, dan bahkan kepada masyarakat umum maupun perekonomian nasional. (4) Dengan penyatuan sumberdaya para petani dalam sebuah koperasi, para petani lebih mudah dalam menangani risiko yang melekat pada produksi pertanian, seperti: pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi. Dan (5) Dalam wadah organisasi koperasi, para petani lebih mudah berinteraksi secara positif terkait dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kualitas SDM mereka. Koperasi sendiri memiliki misi khusus dalam pendidikan bagi anggotanya.
Kelompok tani atau Koperasi merupakan salah satu struktur kelembagaan yang cukup penting di masa sekarang dan yang akan datang, dalam upaya pemberdayaan petani dan pemasaran komoditas yang dihasilkan di wilayahnya, sekaligus menjadi kelembagaan pertanian yang dapat memberikan jaminan kepastian harga produk pertanian, sehingga harga yang diterima dapat menguntungkan petani. Bergabungnya petani dalam kelembagaan koperasi akan menguatkan institusi tersebut sebagai lembaga perekonomian pedesaan, dimana anggotanya akan memiliki posisi tawar yang kuat untuk dapat memasarkan hasil pertaniannya, sehingga kesejahteraan petani mengalami peningkatan hal ini diakibatkan naiknya pendapatan petani yang tergabung dalam kelompok tani atau koperasi.
Maka dapat disimpulkan, bahwa salah satu bentuk kelembagaan yang ideal di pedesaan adalah kelompok tani yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pemberdayaan petani dalam kelembagaan koperasi yakni KUD, merupakan suatu bentuk alternatif dari model pembangunan masyarakat pedesaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar bermatapencarian sebagai petani/buruh tani. Koperasi dalam hal ini memberikan jaminan keuntungan bagi anggota baik dari segi sosial dan ekonomi, selain itu yang utama adalah peningkatan posisi tawar petani dapat ditingkatkan sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk ’menentukan’ harga produk pertaniannya.